Suatu Hari dalam Hidup Saya
Ayah saya diadopsi oleh keluarga Ibu di dekat pusat Kota Cilegon. Aslinya dari pedalaman selatan. Dia punya keahlian sebagai montir kendaraan bermotor sehingga – oleh keluarga Ibu – dibukakan usaha bengkel motor di halaman samping rumah. Sedangkan ibu saya, anak seorang tuan tanah, yang sejak tahun 1965 memiliki puluhan hektar lahan tanah di wilayah Cilegon utara. Sebenarnya, Ibu lulusan SMK jurusan perawat, cukup cerdas dan cekatan, tetapi karena mukanya jelek dan badannya gendut, dia masih perawan hingga umurnya menginjak 35 tahun.
Ayah punya riwayat yang kurang bagus di masa mudanya. Ia pernah menghabiskan dua tahun di penjara karena keteledoran dan perkelahian sembrono. Meskipun wajahnya terbilang tampan dan postur tubuhnya tinggi dan bidang. Anda mungkin bertanya-tanya mengapa ia sampai berani mengorbankan dirinya dengan menikahi wanita jelek dan gendut, yang umurnya lebih tua darinya. Tak lain dan tak bukan, supaya dia bisa menetap di rumah dan bekerja di bengkel, karena pengetahuannya cukup lumayan di bidang otomotif – lebih tepatnya di bidang utak-atik kendaraan bermotor.
Ah, kalau saja saya dilahirkan dengan otak Ibu dan penampilan Ayah, mungkin putaran roda sejarah hidup akan berbeda dari sekarang ini. Tetapi, rupanya Tuhan berkehendak lain. Yang terjadi malah sebaliknya. Karena itu, saya ingin mengabarkan hal ini kepada seluruh masyarakat Indonesia. Tolong dipikirkan masak-masak sebelum kalian punya anak, terutama kalau wajahmu jelek dan badanmu bulat seperti bola bekel.
Setelah mobil angkot memasuki desa kami, supermarket berdiri, ditambah beberapa minimarket dan ruko-ruko, TK dan taman hiburan, tempat kost dan rumah kontrakan, hingga semakin banyak pendatang memadati daerah kami. Serta-merta Ibu memperluas bangunan bengkel hingga menempel ke trotoar jalan. Ibu sering duduk di meja kasir, terutama bila ada yang minta reparasi motor, mengganti oli, tambal ban, atau mengisi pertalite yang tersedia dalam tabung besar bertuliskan “Pertamini”. Sedangkan, Ayah dengan dua pekerjanya sibuk mengutak-atik motor hingga rampung dan bisa dikendarai pemiliknya kembali.
Ayah sebenarnya seorang pemalas. Kalau tidur, mirip kuda nil yang mendengkur. Sebenarnya, dia pas-pasan memahami dunia otomotif, sampai-sampai kelimpungan waktu kendaraan bermotor semakin beralih dari motor bergigi kepada bentuk matic. Tetapi, karena dia membayar dua pekerja yang cerdas dan pintar, urusan jadi lumayan beres. Dan kalau Anda mau tahu, Ayah tergolong laki-laki yang maniak dalam soal berhubungan badan (seks), tapi tentu saja itu dilakukan bersama ibuku.
Pada hari Minggu, bengkel kami meliburkan diri dan tutup. Seringkali Ayah merogoh uang tunai dari kotak kasir, kemudian pergi ke perempatan desa untuk ikut-serta dalam judi sabung ayam. Kalau dia kalah, dan kotak kasir ludes, Ibu akan marah-marah, dan seringkali saya juga kena pelampiasan amarah mereka berdua. Dan tak ada yang bisa dilakukan untuk bocah seusia saya selain hanya meringkuk dan menangis, ditambah saya kurang punya energi untuk membalas omelan mereka, kecuali (barangkali) kalau muka saya tidak seperti Ibu. Apa boleh buat.
Laura Nikita, namamu hebat, dan kamu perempuan perkasa. Itulah yang seringkali Ibu katakan. Meskipun saya tak pernah menemukan hal yang spesial dalam diri saya. Tetapi, selalu terngiang-ngiang di kepala saya tentang “perempuan perkasa”. Barangkali dua kata itulah yang menbuat saya menyukai segala tontonan pada adegan gulat dan perkelahian, terutama jika yang bertanding adalah kaum perempuan.
Saya juga tak bisa apa-apa di sekolah, nyaris tak ada mata pelajaran yang saya sukai. Kalaupun ranking kelas selalu nomor dua atau tiga, itu pun bila diurutkan dari belakang. Sewaktu SD dulu, saya selalu kalah bila main bekel, congklak maupun karambol. Begitupun sewaktu SMP, selalu kalah main bulutangkis maupun lomba renang. Malahan teman-teman laki-laki selalu melecehkan agar saya tak perlu menggerakkan tangan dan kaki bila harus berenang. Cukup berdiam diri saja, dan badan sebulat ini akan bisa mengambang dengan sendirinya, sesuai hukum alam dan sunatullah.
Saya merasa kasihan pada Ibu, terutama jika dia berada di posisi yang salah. Ia akan diam seribu basa jika mendapat omelan dan dampratan Ayah. Dia tahan menghadapi segala caci-maki yang Ayah lontarkan, dan tidak membalas sepatah kata pun. Ia terus saja mencuci piring dan menyapu lantai (walaupun tidak kotor-kotor amat). Barangkali karena mukanya yang tembem dan bulat itulah, yang membuatnya tak berhasrat untuk membela diri. Di sisi lain, saya pun kadang jengkel kepadanya, bahkan lebih jengkel daripada Ayah. Kadang saya berpikir, lantaran fenomena perempuan seperti dialah yang membuat dunia ini menjadi suram dan kelabu, sehingga banyak orang menjadi skeptis untuk menciptakan perubahan dan kemajuan zaman.
Karena itu, sampai sekarang pun saya merasa heran, mengapa Tuhan (jika memang Dia ada) tetap mengizinkan orang-orang seperti itu bisa hidup, dan celakanya bisa berumur panjang hingga mencapai 70 sampai 100 tahun. Bahkan jika memungkinkan, mereka inginnya hidup lebih dari seribu tahun lagi, melebihi penyair Chairil Anwar.
Kedua karyawan Ayah bernama Saiful, dan satunya yang lebih ganteng bernama Wahyu. Kadang saya berlama-lama menatap wajahnya, terutama ketika ia sedang mereparasi motor pelanggan. Kalau hari Jumat kadang saya membolos, dan tak ada yang tahu – baik Ayah atau Ibu – bahwa upaya saya untuk mangkir dari sekolah hanya karena ingin memandangi muka Wahyu berlama-lama dari balik jendela.
Saiful sudah menikah dan memiliki satu anak. Tapi kalau malam hari, dia suka begadang bersama para pemuda di gardu ronda. Kadang istrinya yang cerewet marah-marah dan menyatroninya sambil mengutip-ngutip petuah Ustaz Bahrudin di pengajian, bahwa Tuhan menciptakan waktu malam hanya untuk istirahat di tempat tidur, bukan untuk begadang gak karuan. Suaminya menjawab lantang, bahwa perempuan solehah memang harus tidur dan tak usah datang ke gardu ronda dengan hanya mengenakan daster lekton yang begitu terbuka dan transparan.
***
Banyak teman-teman sekolah saya yang hobinya jalan-jalan di mal, supermarket, dan bazar-bazar di pasar sore. Secara ekonomi, sebenarnya saya mampu melakukan itu, termasuk makan-makan di CFC, StarBucks, McDonnalds atau bahkan nonton di Twenty One. Tapi siapa yang mau memperhatikan saya di tempat-tempat mewah itu, selain menjadi bahan guyonan kaum laki-laki. Karena itu, saya merasa lebih betah tinggal di rumah. Ibu pernah berceloteh bahwa rumahku adalah surgaku, tapi saya menambahkan lebih lantang, “sekaligus nerakaku!”
Kadang saya menggantikan posisi Ibu di meja kasir, menyapu lantai dan mengelap meja etalase yang memajang segala aksesoris dan spare parts motor. Tetapi, hal yang paling saya sukai ketika ada bahan pembicaraan atau lelucon yang dibincangkan bersama Wahyu. Dia sekitar duapuluh lima umurnya, dan sering membuat lelucon yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Kalau dia berdiri di samping Ibu, saya melihat keduanya seperti berasal dari spesies yang berbeda. Wahyu seperti burung elang dan garuda yang matanya nanar dan jalang, tetapi Ibu lebih mirip makhluk hidup dari penangkaran kera di hutan Solear. Wahyu masih lajang, belum menikah, tetapi lamat-lamat saya mendengar dia punya hubungan dengan Maya, adik kelas saya di SMP dulu. Bersamaan dengan mendengar kabar itu, saya melihat seekor kucing belang di pintu bengkel, hingga sulit bagi saya untuk menahan tangan mengambil sandal dan melemparkannya ke kepala si kucing.
Hari-hari datangnya menstruasi adalah hari-hari yang menjemukan buat saya. Di kantin sekolah, saya mendengar Maya berbisik-bisik bersama beberapa teman sepantarannya, bahkan menyinggung soal seks dan orgasme. Tiba-tiba, mereka terkesiap dan menatap nanar ke arah saya, ketika saya menguping di sebelah meja mereka. Mereka pun pergi menghindar, dan berpindah tempat duduk sambil tetap memancangkan matanya ke arah saya, seraya tersenyum sinis dan menyeringai.
Tiba-tiba salah seorang mendekati saya, dan kontan bertanya, “He, Gendut, kamu masih perawan, ya?”
“Ayo jawab, Gembrot, kamu masih perawan, kan?” teriak salah seorang teman di senelahnya.
Saya menunduk. Bukan karena saya tak mau menjawab pertanyaan itu, tetapi karena saya tak mengerti harus menjawab apa. Kami semua akhirnya terdiam, setelah Ibu kantin tertawa dan menatap aneh ke arah kami.
Maya sebenarnya tidak cantik-cantik amat. Kulitnya agak kecokelatan, lebih mendekati hitam. Tapi, karena saya terbiasa melihat wujud Ibu, jadi dia kelihatan agak lumayan. Karena bagaimanapun, ukuran kecantikan itu rupanya bisa dinilai dari siapa pembandingnya. Dia memiliki mata yang oleh anak-anak gadis ABG disebut upturned eyes, dan dia memakai lipstik merah muda dan cerah. Sesekali dia pernah datang ke bengkel dan bercakap-cakap dengan Wahyu. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi ketika matanya menatap saya, sorot mata itu seakan berkata nyinyir: “He, kamu gendut dan jelek amat sih?”
Seketika saya terseksiap, seakan tak sadarkan diri, lalu tiba-tiba terngiang kembali ucapan Ibu, terutama mengenai tiga kata yang terakhir: “Kamu perempuan perkasa!”
Mulai sejak itulah, saya sering mencuri uang dari kotak kasir, dan terus-menerus menguntit Maya dan Wahyu. Suatu hari, saya meminjam helm milik Saiful dan mengenakannya di kepala, berikut masker hitam yang ketat menutup mulut hingga bawah mata. Saya masuk ke sebuah warung baso, di mana Maya dan Wahyu sedang menyantap baso di dalamnya. Mereka tidak curiga pada saya, kecuali dua cewek ABG tiba-tiba berseloroh: “Ngapain juga itu orang masuk ke warung baso pake helm segala? Dasar, cewek gak jelas!”
Nah, itu dia, saya suka sekali kata-kata itu: ‘cewek gak jelas’. Mungkin itu julukan yang tepat buat perempuan gendut macam saya. Seharusnya Ibu mengatakan terus terang bahwa saya cewek aneh, bukan “perempuan perkasa”. Menurut saya, banyak orang-orang aneh yang gak jelas di dunia ini, ketimbang perempuan-perempuan perkasa.
Kata-kata macam itulah yang membikin pikiran saya kacau selama ini. Ketika ada orang mengatakan bahwa Anda perempuan perkasa, yang berarti perempuan spesial, sementara fakta di lapangan adalah sebaliknya. Maka, Anda tak bisa merasa rileks dan bersikap legawa. Inilah pelajaran berharga yang perlu saya nasihatkan bagi para orang tua dari Sabang sampai Merauke, agar mereka harus jujur bicara apa adanya: Kamu itu anak aneh, bodoh dan gendut. Nah, setelah itu ditambah dengan kata-kata berikut ini: Tetapi tenang, sabar saja, karena aku pun seperti itu dulunya, tapi sampai sekarang kan baik-baik saja?
Sore hari, saya mencuri uang lagi dari kotak kasir, karena pekerjaan membuntuti dan mengintip orang itu ternyata tidak murah. Kalau enggak percaya, tanyakan saja pada BIN, CIA atau bahkan intel tas kresek sekalipun. Pasti mereka mengeluarkan dana besar untuk pekerjaan membuntuti orang. Kalau Anda melarat, kere dan pas-pasan, jangan sok-sokan jadi intel deh. Mendingan ke laut aja. Jangan sok ikut-campur dalam urusan intip-mengintip. Kala itu, saya terus membuntuti Maya dan Wahyu ketika mereka masuk ke bioskop Twenty One, menonton flm berjudul The Nootbook yang diangkat dari novel Nicholas Sparks (1996). Saya pun ikut membeli karcis sambil mengenakan masker rangkap hingga hampir menutupi mata. Saya duduk di bangku belakang, dan mereka berdua duduk di deretan bangku keempat dari depan. Di sebelah saya sepasang suami-istri membawa anak balitanya yang masih berumur tiga tahun. Sebenarnya, saya tidak suka pada anak-anak, sebab mereka terlalu imut dan mungil. Bahkan, anak-anak yang mukanya jelek, dekil dan kumal sekalipun, terlihat begitu lucu saat mereka masih kecil.
Sepulang dari bioskop, saya biarkan mereka berdua pulang. Sementara, saya masuk ke toko buku untuk membeli majalah Hot Banten. Saya membaca-baca majalah itu di sekitar taman kota, melihat rubrik berjudul “Hari Pertama”. Dalam rubrik itu diceritakan mengenai detik-detik pertama orang-orang terkenal mencium pacarnya. Konon, seorang artis dangdut berciuman mesra di tempat-tempat karaoke, para atelit bulutangkis di toilet Gedung Olah Raga (GOR), pegawai negeri di kebun Solear, hingga seorang petugas Satpol PP yang pernah mencium pacarnya di anjungan rumah hantu, di taman hiburan. Foto-foto mereka terlihat tampan dan ganteng. Saya seketika bertanya-tanya, kenapa orang-orang yang tampil di majalah dan koran itu keren-keren. Kenapa enggak ada di antara orang terkenal itu yang mirip gorila atau simpanse, hingga Anda berani bersaing dengan dia?
Sepulang dari taman kota, perut saya keroncongan. Saya baru ingat, bahwa saya belum makan apa-apa sepulang dari bioskop tadi. Segera saya masuk ke Rumah Makan Padang, dan tinggal menyebutkan lauk apa, kemudian segera siap saji. Karena itu, Anda tak perlu masuk warung masakan Sunda kalau Anda dalam keadaan sibuk dan terburu-buru seperti saya. Anda tak perlu harus menunggu ikan lele atau ikan emas dipancing dulu di empang, lalu dikuliti, kemudian dibumbui dan digoreng di atas kenceng. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan lalap, sambal, dan sayur-mayur bekas kemarin yang harus dihangatkan, dan seterusnya dan sebagainya.
***
Seminggu kemudian, ketika saya sedang memata-matai Maya dan Wahyu di warung baso, dua wanita Sunda yang berjalan menuju pintu keluar, tiba-tiba berteriak, “He, lihat! Bukankah itu perempuan gendut yang kerja di bengkel itu?” Sontak saja Wahyu menatap ke arah saya, hingga kemudian secepatnya saya berbalik ke belakang.
Baru beberapa meter saya melangkah, tiba-tiba teriakan Maya terdengar sambil bertolak pinggang, “Ooh, jadi kamu ya, yang selama ini menguntit di belakang saya,” ia pun menorehkan telunjuknya ke muka saya, kemudian setelah menampar muka saya, dia mengancam, “He, tembem, jelek, awas kalau lagi-lagi kamu mengikuti kami dari belakang, saya laporkan kelakuanmu sama ibumu, ngerti?”
Saya pun berdiri dengan mulut menganga. Maya mengambil foto saya dengan ponselnya. Bibir mulai bergetar. Sorot mata Wahyu terpancang lurus hingga saya pun menangis terisak-isak karena rasa malu. Saya pun pergi dari tempat itu, menyeret kaki yang berat hingga hampir tersungkur ke tanah. Dari kejauhan masih terdengar suara Maya menyembur dan mencaci-maki, “Tak tahu malu kamu ya? Awas, besok saya bilangin sama ibumu di bengkel, kalau ternyata kamu yang selama ini menguntit saya dari belakang… dan saya sudah pegang foto kamu di depan warung baso ini…!”
Di sepanjang jalan saya masih menangis terisak-isak. Saya jadi ingat ketika saya dipukuli Ibu atau Ayah ketika saya nakal dulu. Kalau saya dipukuli Ibu, kadang Ayah membawa saya menuju warung di perempatan jalan, dan saya bisa memilih ice cream apapun kesukaan saya. Kadang Ayah juga membawa saya ke sebuah ruko yang menjual macam-macam perabot dan mainan, dan saya bisa memilih apa saja jenis permainan yang saya sukai. Ketika Ayah mengajak pulang, saya masih menempel di kakinya sambil menatap pintu rumah seakan-akan menyaksikan hantu dalam adegan-adegan film horor.
Saat itu, masih terngiang-ngiang dalam ingatan saya, “Besok saya bilangin sama ibumu di bengkel!”
Keesokannya, ketika bengkel baru saja buka, saya melihat Wahyu berboncengan motor bersama Maya, kemudian mereka turun dan memarkir motor di depan rumah. Terbersit lintasan kata-kata Ibu yang sangat kuat dalam kepala saya, “Kamu perempuan perkasa… ya, kamu perempuan perkasa…!”
Saya pun menuju garasi, mengambil martil besar yang biasa dipakai untuk reparasi atau memukul bodi motor yang melengkung. Ibu melihat saya terheran-heran sambil berujar, “Nak, buat apa martil itu?”
“Membetulkan stang motor biar jalannya lurus,” kata saya spontan.
Ketika Maya mendekati ibu saya, dan belum sempat mengucapkan sepatah katapun, saya pun menyerang Maya seperti serangan Tohir dalam novel Perasaan OrangBanten. Martil besar itu saya hantamkan di kepalanya hingga melengos ke kiri. Namun, ia terlambat untuk berpaling, dan martil itu mengenai tengkuknya hingga jatuh terhuyung-huyung di atas lantai.
Ibu menjerit-jerit histeris. Wahyu segera melerai dan merebut martil itu dari genggaman tangan saya. Tetapi, seperti yang terngiang di kepala bahwa saya ini “perempuan perkasa”, Wahyu pun tak berhasil melepas martil itu dari genggaman saya yang kuat. Ketika martil itu saya layangkan ke muka Wahyu, tiba-tiba Ayah datang dan kontan berteriak bagai sambaran petir, “Hey! Lepaskan martil itu!”
Ayah merebut martil itu dari tangan saya, dan saya pun meringkuk di atas lantai sambil menangis sesnggukan.
***
Itulah sepintas perjalanan hidup saya yang perlu saya sampaikan kepada Anda sebagai wartawan. Saat ini, saya masih menjalani hukuman di penjara ini, dan saya bermaksud menceritakannya kepada Anda dan kepada masyarakat Indonesia, semata-mata agar kalian jangan meniru dan mencontoh perbuatan buruk yang telah saya lakukan.
Beberapa minggu lalu, seorang sipir penjara memang telah menghubungi saya, apakah saya siap untuk diwawancarai, maka saya katakan belum siap. Tetapi kemarin lusa, ketika ia menghubungi saya kembali maka saya katakan, bahwa saya siap untuk diwawancarai Litera hari ini. Semoga saja Ibu tidak mengedit bagian-bagian penting yang saya nyatakan, agar menjadi pelajaran dan hikmah yang berharga bagi kemajuan budaya dan peradaban bangsa ini, dan bukan untuk kepentingan kelompok dan keuntungan finansial semata.
Saya pernah berpikir, seandainya ibu saya menyatakan apa adanya perihal kondisi fisik saya yang kurang menguntungkan, barangkali saya tidak sampai hati untuk melakukan tindakan sembrono ini. Sebab, saat itu dalam pandangan saya, sosok Maya itu begitu lemah dan kecil, tetapi sayalah yang kuat dan perkasa seperti yang dinyatakan oleh Ibu selama ini.
Namun, pada akhirnya, saya toh harus menyadari bahwa ibu saya berkata begitu, karena ingin membesarkan hati dan membangkitkan rasa percaya diri saya sebagai anak yang dicintainya. Tetapi kini, saya bersyukur, karena saat ini kondisi Maya sudah pulih dari perawatan di rumah sakit, dan saya berjanji akan menjumpainya segera setelah saya bebas dari penjara ini satu bulan ke depan. (*)
Irawaty Nusa, esais dan prosais. Tulisannya telah disiarkan di berbagai media nusantara baik cetak maupun daring.